Juna senang sekali mendapat hadiah kotak pensil dari
ayahnya. Ayahnya memberikan hadiah itu karena Juna mendapat nilai 89 saat
ulangan matematika kemarin.
Kotak pensil Juna berbentuk mobil bergambar angry bird
merah, kartun kesukaannya. Jika dibuka tutupnya, kotak pensil itu bertingkat
tiga. Paling bawah diisi dua penghapus, tingkat ke dua diisi pensil, dan
tingkat ke tiga diisi serutan pensil.
Juna tidak sabar ingin segera pagi. Ia ingin
memperlihatkan kotak pensil itu kepada teman-temannya, terutama kepada Ade
teman sebangkunya.
Keesokan harinya, Juna berangkat ke sekolah lebih awal
dengan riang. Di kelas, sebelum bel berbunyi, ia memperlihatkan kotak
pensilnya. Semua teman Juna yang sudah datang merubung Juna dan menyentuh kotak
pensil itu. Ada pula yang memainkannya dengan membuka dan menutupnya kembali. Semua
temannya terkagum-kagum karena baru pertama kali ini melihat ada kotak pensil
bertingkat.
“Kamu beli di mana, Jun?” tanya Ade. Matanya tak lepas
memandangi kotak pensil itu.
“Itu hadiah dari ayahku, aku tidak beli.” jawab Juna
bangga. “Kata ayah, kotak pensil itu di beli di toko Anugerah dekat balai
desa.”
“Wah kok jauh, berapa harganya?”
“Aku tidak tahu.” Ade merasa kecewa mendengar jawaban
Juna.
“Aku juga akan beli kotak pensil seperti itu di toko
Anugerah dengan ibuku nanti sore tetapi bergambar ultramen.” ujar Ade saat ibu
Nila menerangkan di depan kelas.
“Kalau aku ‘kan tidak beli tapi hadiah.” seloroh Juna
tidak mau kalah.
***
Matahari pagi bersinar cerah. Juna masuk ke dalam
kelas dengan hati gembira seperti kemarin. Hanya saja hari ini berbeda.
Teman-temannya sudah mengerumuni Ade. Ternyata Ade telah membeli kotak pensil
yang sama persis seperti miliknya.
“Kok sama punyaku. Katanya kamu mau beli yang
bergambar ultramen. Kok nggak jadi.”
Ade tersenyum kecil. “ Soalnya yang gambar ultramen
jelek.”
Dengan cekatan, Juna membuka tasnya. Ia ingin
membandingkan kotak pensil miliknya dengan milik Ade. Juna telah mengeluarkan
isi tasnya tetapi kotak pensilnya tidak ada.
“Jangan-jangan itu punyaku, De. Kamu mencurinya ya!”
tuduh Juna.
“Ini punyaku. Aku membelinya kemarin dengan Ibu.”
“Bohong. Kembalikan kotak pensilku!”
“Tidak. Ini punyaku!” bantah Ade.
“Bohong!” Juna merebut paksa kotak pensil itu dari
tangan Ade tetapi Ade memegang erat,
tidak mau memberikannya begitu saja. Sementara itu, teman-teman Juna menonton
saja. Aksi rebut-rebutan kotak pensil baru berhenti setelah ibu Nila masuk
kelas.
“Ada apa ini?” tanya bu Nila.
Juna panik mendengar suara bu Nila dan serta merta ia
dorong tubuh Ade hingga tersungkur ke lantai. Kotak pensil masih di tangan Ade.
Ade menangis sesunggukan dan tidak mau duduk sebangku
dengan Juna.
***
Sesampainya di rumah, Juna menangis dan melaporkan
kepada ibunya kalau Ade telah mencuri kotak pensilnya tetapi ibunya tidak
percaya dan menyuruh Juna mencari kotak pensil itu sekali lagi.
“Lihat Bu. Di tas Juna tidak ada.” Seluruh isi di
dalam tas dikeluarkan di hadapan ibunya.
“Sudah mencari di kamar?”
Juna
menggeleng. Kemudian tanpa di aba-aba, ia berlari menuju kamarnya. Beberapa
menit kemudian Juna muncul dari balik pintu kamarnya dan menghampiri ibunya
sambil senyum-senyum.
“Ternyata tertinggal di rumah, Bu.” ujar Juna sambil
berlari ke arah ibunya.
Juna merasa senang sekaligus sedih. Senang karena
kotak pensilnya telah kembali dan sedih karena ia telah menuduh Ade mencuri
kotak pensilnya. Bahkan membuat Ade jatuh dan menangis. Ia berjanji pada
dirinya sendiri bahwa besok pagi ia akan meminta maaf kepada Ade. Dan ia ingin
duduk sebangku dengan Ade lagi, seperti biasanya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar