Aku percaya kalau
Rama akan datang bersama hujan meteor. Itu yang sudah ia janjikan. Janji itu selalu
terngiang dalam ingatan.
Tiga hari lagi,
hujan meteor phoenicids diperkirakan akan terjadi. Dan hari itu, sudah lama
kunantikan. Di bukit bintang, kami akan bertemu.
Aku akan datang
dengan memakai longdress hijau, warna kesukaan kami berdua. Kami memang
memiliki banyak kesamaan. Langit, bintang dan bukit. Kenapa bukit? Sebab Ramalah
aku mulai menyukai bukit, mencintai malah.
Aku benci bukit
seperti membenci abah, begitu aku menyebut kakek. Abah pergi ke Suroloyo,
puncak tertinggi Pegunungan Menoreh, meninggalkan Iyung sendiri. Iyung sebutan
untuk nenekku. Semua orang akan meninggalkan alasan ketika mereka pergi. Namun
abah, ia sama sekali tidak meninggalkan alasan kepada iyung, aku dan ibu. Abah
pergi begitu saja. Sepeninggal Abah, Iyung tampak melakukan aktivitas seperti
biasa. Menganyam mendong dari subuh hingga menjelang asar. Iyung ikhlas melepas
Abah pergi.
“Iyung, tidak
mencari abah?”
“Abah pergi dengan
kemauannya sendiri, untuk apa dicari.” Ucap Iyung datar. “Lagipula semuanya
akan pergi.” Ini ke dua puluh satu kali Iyung menjawab dengan jawaban yang
sama. Aku mulai hafal di luar kepala kalimat Iyung.
“Iyung ....”
Aku mulai tidak
tahan melihat Iyung yang berpura – pura tidak terjadi apa-apa. Dalam hati, aku
yakin, Iyung merasakan kesedihan yang dalam.
Dengan berbekal
kenekatan dan secarik alamat di atas kertas buram yang pinggir-pinggirnya sudah
di makan ngengat aku mengendarai maticku. Abah harus ketemu, batinku. Aku harus
mencari tahu kenapa Abah pergi.
Sejak motorku macet
dan aku mesti mendorongnya agar sampai di rumah Abah. Aku memanggil kakekku
dengan sebutan abah. Hari itu untuk pertama kalinya aku ke Suroloyo, puncak
tertinggi pegunungan Menoreh. Rute menanjak dengan jalan berliku, kanan – kiri
tebing yang curam.
Sejak abah berpisah
dengan iyung, abah memilih tinggal di Suroloyo, tanah kelahirannya. Iyung
adalah sebutanku untuk nenek.
Bersambung ...............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar