Alisya menatap wajahnya sendiri di cermin.
Sudah cantik, gumamnya dalam hati. Gamis berwarna ungu melekat di tubuh Alisya
dengan kerudung paris berwarna merah muda melekat di kepala, ditambah bros kupu
– kupu menambah ayu wajah Alisya. Sekarang ini memang sedang trend memakai
busana dengan tabrak warna. Alisya juga menyukainya. Dengan pakaiannya saat
ini, orang pasti menduga Alisya sedang jatuh cinta.
“Jatuh cinta.” bibir Alisya melengkung saat
kata tersebut keluar dari bibirnya. Ada gurat kebahagiaan yang lekat di
wajahnya.
Beberapa saat kemudian matanya tertuju ke
jendela. Lalu beranjak dari meja riasnya menuju jendela. Seperti anak baru
gede, Alisya meniup kaca jendela kemudian menuliskan dua buah nama, Bon dan
Alisya, lalu melingkari tulisan tersebut dengan gambar sebuah hati.
Senyum Alisya mengembang kembali saat
mengingat pertemuannya dengan Bon, lelaki yang membuatnya jatuh cinta. Lelaki yang
telah membuatnya merasa sempurna selama 3646 hari ini. Cinta yang memberinya tiga
bidadari dalam hidup Alisya.
Mengenang Bon, berarti mengenang Cirebon,
mengenang saat pertama kali bertemu dengan Bon.
Alisya mengenal Bon saat kopi darat sesama
blogger dari Komunitas Blogger Cirebon sepuluh tahun yang lalu. Acara itu di
laksanakan di Aston Hotel Cirebon. Sebuah hotel bergensi di Cirebon, hotel yang
pada akhirnya Bon pilih sebagai tempat untuk melamar Alisya bahkan
melangsungkan pernikahan. Di hotel itulah, Bon mengajak Alisya mengenang,
memutar kisah di masa silam.
Saat kopdar, Alisya mengenal sepintas saja
siapa Bon, hanya sebatas nama dan domisili. Tak lebih. Dan jangan pernah
membayangkan love at first sight. Alisya tidak akan pernah menerima
istilah itu dalam hidupnya. Namun, tidak bagi Bon. Bon sering membuat gombalan
bahwa ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Alisya tidak mempercayainya tetapi
ia suka mendapat pengakuan semacam itu. Dasar wanita, tempat segala rayuan
bermuara.
Dua hari setelah kopdar, tanpa diketahui
Alisya, Bon sudah berdiri di depan rumahnya dengan membawa keranjang buah. Siapa
yang sakit? Tidak ada. Bon merasa ia harus menjadi sosok yang anti mainstream.
Bunga mawar tidak bisa di makan, begitu pikirnya. Bon, orang asing yang handal
retorika berhasil membawa ibu, bapak, Alisya dan kedua adiknya ke Aston Hotel.
Bon memakai jampi – jampi, itu yang Alisya yakini.
Di hotel tersebut, di hadapan ibu, bapak, dan
kedua adik Alisya, Bon melamar Alisya. Gadis mana yang tidak klepek – klepek,
bertekuk lutut dengan keheroikkan Bon, selain gadis bodoh. Alisya menerima.
Dan, Bon pasti memakai jampi – jampi, itu yang selalu Alisya yakini.
Namun, pagi ini, tepat 3646 hari pernikahannya,
ketika mendapati dirinya berada di kamar hotel, Ia menyadari, ini bukan jampi –
jampi.
Lamunan Alisya ambyar saat nada dering dari
Smartfren 4G LTE berbunyi nyaring. Ia beranjak dari jendela dan mengambil smartphonenya.
Suaminya meneleponnya dari lobi.
“Sya turunlah, mari kita cuci otak.” Cuci otak
dalam kamus hidup Bon adalah istilah untuk mengajak istrinya refreshing.
“Bahasamu mengerikan. Tapi baiklah, lima menit
lagi.”
“Jangan lama – lama. Kapan lagi kita menikmati
Cirebon Smart City. Lusa kita harus sudah di Ambon.”
***
Setelah keluar dari lift, Alisya mendapati Bon
telah berdiri menunggunya.
“Kemana kita?” tanya Alisya saat berada di
samping Bon dan mengandeng tangannya.
“Belajar sejarah.” jawab Bon singkat.
Alisya mengernyit.
Alisya dan Bon menaiki bus, transportasi
digital, Transdig, orang Cirebon menyebutnya. Bus dengan sistem pengoperasian
secara digital. Sopir itu sama sekali tidak memegang kemudi. Sopir akan
menyentuh tempat yang tertera di layar. Dan Bus akan berhenti di depan tempat
tersebut. Alisya sampai tercengang melihatnya.
“Sedang apa?” tanya Bon, saat mendapati Alisya
tak jemu – jemu memandangi aksi sopir bus tersebut. Alisya menoleh.
“Aku pikir, mungkin kelak profesi sopir sudah
tidak diminati lagi. Sudah tidak dibutuhkan lebih tepatnya.”
“Kau benar Sya, sekarang aja sudah tidak ada
petani.” jawab Bon.
“Hah. Kok bisa! Apa mereka beralih profesi.
Atau sawah sudah jadi gedung.” Secara kebetulan bus yang mereka tumpangi sedang
berjalan di areal persawahan. “Lhah itu sawah. Kau pasti berbohong kan Bon.”
“Makanya kalau sedang dalam perjalanan jangan
tidur. Tidak tahu kalau sekarang Cirebon sudah berubah menjadi smart city.
Semua diatur secara digital.”
“Iya aku tahu. Aku sudah merasakannya dari
mulai bandara hingga hotel, Bon. Tapi masalahnya kemana perginya petani? Itu
sawah yang mengelola siapa kalau bukan petani.” tanya Alisya, lagi.
“Tuh lihat irigasinya sudah pake digital,
diatur kapasitas airnya.” Bon menunjuk sebuah alat digital yang digunakan untuk
mengatur sirkulasi air. “Aku yakin, mulai dari pembibitan hingga panen, semua
dilakukan dengan alat digital. Sekarang, Cirebon sudah tidak memiliki petani.
Yang Cirebon miliki adalah petani profesional.” jawab Bon, kemudian terkekeh.
Alisya memonyongkan bibirnya.
***
“Keraton Kasepuhan!” pekik Alisya setelah
sampai di keraton. Beberapa penumpang memandang tajam ke arah Alisya. Alisya
hanya melayangkan senyum yang dibuat – buat. “Kupikir belajar sejarah yang kau
maksud adalah sejarah kita.”
“Mungkin ini saatnya mengenal sejarah orang
lain.” kata Bon.
“Dulu aku sering kesini.” Alisya menggumam.
Bon mendengarnya.
“Kau akan tahu ada yang beda dulu dan
sekarang.”
Bon mengajak Alisya berjalan ke bangunan utama
yang dapat ditemui setelah melewati benteng dan pendopo. Di pintu masuk bangunan
utama tersebut terdapat LCD yang berisi informasi tentang bangunan utama.
“Jadi ini bedanya. Sekarang semua sudah
menggunakan digital. Baguslah. Sangat di sayangkan Ire, Qila, dan Airin tidak
ikut.”
“Nikmati saja kencan ini. Ire, Qila, dan Airin
sedang asyik berenang di hotel. Ups, keceplosan.” Bon menggaruk – garuk
kepalanya yang tidak gatal.
“Jadi ....” Alisya tersenyum bahagia. “Terima
kasih Bon. Mungkin mereka akan susah diajak pulang ke Ambon.”
“Kau benar.” keluh Bon.
“Kalau sudah begitu aku akan pensiun jadi
ibu.” seloroh Alisya.
“Apa !!!” pekik Bon.
Alisya tersenyum lebar. “Tapi berubah menjadi
ibu profesional. Kena deh!”
Tawa kemudian pecah di bibir Alisya. Sementara
itu Bon masih memasang muka manyun.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar