Rabu, 29 April 2015

Cernak "Si Jago Merah"


Seperti biasa, ketika jam dinding menunjukkan angka 6 lewat 30 menit, Banu telah siap dengan tas ransel di punggungnya dan siap berangkat ke sekolah. Setelah sarapan ia menghampiri ibunya untuk pamit ke sekolah dan mencium tangan ibu. Biasanya setelah mencium tangan ibu ia akan diberi uang saku. Tapi tidak untuk hari ini.
“Maaf Banu, hari ini ibu tidak memberimu uang saku. Uang ibu sudah habis untuk membeli beras dan ikan asin kemarin sore.” Kata ibu pelan. Banu melihat raut wajah ibunya sambil tersenyum.
“Tidak apa-apa Ibu. Banu mengerti.” Jawabnya ringan.
Setelah itu Banu mengambil sepedanya dan pergi ke sekolah. Taklupa ia mengucapkan salam kepada ibunya.
Di tengah perjalanan menuju sekolah, tiba-tiba sepeda Banu oleng. Paku mengenai sepeda Banu yang mengakibatkan ban Banu bocor. Karena jarak sekolah sudah dekat, akhirnya Banu menuntun sepedanya sampai sekolah.
Sebenarnya tadi Banu ingin mampir ke tukang tambal ban di dekat sekolah, tapi Banu teringat bahwa tadi pagi ia tidak mendapat uang saku sehingga ia akhirnya membawa sepedanya yang bocor ke sekolah.
Sampailah Banu di depan pintu gerbang sekolah, ia bertemu dengan Ahmad, teman sebangkunya.
Mad. Banku bocor nih.”
“Kenapa tadi tidak langsung mampir ke bengkelnya Pak Dodon. Kan enak, sepulang sekolah tinggal diambil.”
“Rencana seperti itu Mad, tapi hari ini lagi tidak bawa uang.”
“Kalau aku punya uang pasti aku akan meminjamimu dulu Ban. Uang sakuku hari ini juga tidak cukup. Hanya 2000 rupiah.” Ahmad merasa kasihan kepada Banu, sahabatnya.
“Tidak apa-apa? Nanti saja setelah pulang sekolah aku akan ke tukang tambal ban.”
“Kalau begitu nanti aku temani Ban, gimana?” Ahmad menawarkan diri menemani Banu sebagai wujud kasihan dan tolong menolong sesama teman.
“Oke. Terimakasih Ahmad.” Ucap Banu sambil tersenyum bahagia.
***
            Setelah pulang sekolah Ahmad menemani Banu ke Bengkel Pak Dodon yang terletak tidak jauh dari sekolah.
“Pak, mau nambal ban.” Kata Banu kepada Pak Dodon. “Tapi saya tinggal dulu, nanti saya ambil sore.”
            “Baiklah. Sebelum jam 4, ya Nak. Soalnya jam 4 bengkel bapak sudah tutup.”
            “Iya Pak. Insyaallah kami akan datang sebelum jam 4.”
Pulangnya Ahmad mengantarkan Banu sampai di rumah dengan sepedanya. Sampai di depan rumah, Ibu Banu telah duduk di teras rumah sambil mengerjakan anyaman enceng gondoknya. Ibu Banu heran mengapa Banu diantar oleh Ahmad. Karena begitu penasarannya, Ibu Banu bertanya sebelum Banu mengucapkan salam.
            “Ada apa dengan sepedamu Ban?” Banu terlihat takut. Roman mukanya sedikit pucat. Ia takut ibu marah padanya.
            “Mmmm, bocor ibu, sekarang ada di bengkel.” Jawab Banu hati-hati. Kemudian ia mendatangi ibunya dan mencium tangannya.
            “Ooowh, ya sudah tak apa-apa. Tapi ibu belum punya uang. Nanti malam saja minta uang sama ayahmu.” Ayah Banu adalah lelaki yang bertanggungjawab dan pekerja keras. Ayah Banu bekerja menjadi kuli bangunan sehingga ia harus pergi bekerja pagi sekali dan pulang ketika mahgrib menjelang.
            “Tapi bu, Banu sudah berjanji kepada Pak Dodon akan mengambil sepedanya sebelum jam 4 sore nanti.” Protes Banu.
            “Ya, terus bagaimana, uang pemberian Ayah sudah habis. Kamu tahu sendiri. Tadi pagi juga ibu tidak memberimu uang saku.” Ibu memberikan penjelasan sembari tangannya asyik dengan anyamannya. “Ya sudah, makan dulu sana. Nanti ibu carikan pinjaman pada Bu Lik Gina.”
            Banu meninggalkan ibunya. Setelah ganti baju dan cuci tangan ia menuju ke meja makan. Ia makan siang dengan nasi dan ikan asin, makanan kesukaannya. Ketika makan ia terus berfikir tentang ibu, pinjaman pada Bu Lik Gina, janji dan sepedanya. Banu tak ingin memberatkan ibunya dengan meminta pinjaman kepada Bu Lik Gina.
            Akhirnya setelah makan ia menuju ke kamarnya dan mengambil si jago merah, celengan plastiknya. Banu memang tergolong anak yang rajin menabung. Sebagian uang sakunya ia tabung. Sekalipun itu hanya 1000 atau 500 rupiah. Dengan bantuan sepotong lidi Banu mengutik-atik celengannya. Satu-persatu uang 500 an berhasil keluar. Hingga akhirnya terkumpul menjadi 5000 rupiah. Cukuplah untuk membayar jasa menambal ban.
            Setelah itu Banu menemui ibunya.
            “Ibu, Banu sudah punya uang. Jadi bu tidak usah meminjam kepada Bu Lik Gina.”
Ibu Banu sesaat heran tetapi kemudian bibirnya melengkungkan senyum. Pasti dari celengan jagonya, pikir ibu. Ia merasa bangga memiliki anak seperti Banu yang selalu mengerti kondisi keluarganya. Bahkan Banu tak pernah mengeluh ketika tidak diberi uang saku.
“Banu, pergi dulu, Ibu. Mau ke rumah Ahmad. Dia mau mengantarku ke bengkel. Assalamu’alaikum.” Kata Banu sambil berlari ke halaman.
“Banu, kamu melupakan sesuatu.” Teriak Ibu.
Banu berhenti lalu berfikir. Iapun kembali menemui ibunya.
“Apa ibu?” Tanya Banu
“Lupa cium tangan ibu,” jawab ibu sambil tersenyum. Banu tersenyum sambil mencium tangan ibu. Cium tangan ibu atau ayah merupakan kebiasaan yang Ibu Banu tanamkan sejak Banu masih kecil.
“Hati-hati ya Nak!”
“Iya ibu.”
Banu pergi dengan hati senang ke rumah Ahmad.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar