
Seperti
biasa, ketika jam dinding menunjukkan angka 6 lewat 30 menit, Banu telah siap dengan tas ransel di punggungnya dan siap berangkat ke sekolah. Setelah sarapan ia
menghampiri ibunya untuk pamit ke sekolah dan mencium tangan ibu. Biasanya
setelah mencium tangan ibu ia akan diberi uang saku. Tapi tidak untuk hari ini.
“Maaf Banu, hari ini ibu tidak memberimu uang saku.
Uang ibu sudah habis untuk membeli beras dan ikan asin kemarin sore.” Kata ibu
pelan. Banu melihat raut wajah ibunya sambil tersenyum.
“Tidak apa-apa Ibu. Banu
mengerti.” Jawabnya ringan.
Setelah itu Banu mengambil sepedanya dan pergi ke
sekolah. Taklupa ia mengucapkan salam kepada ibunya.
Di tengah perjalanan menuju sekolah, tiba-tiba sepeda
Banu oleng. Paku mengenai sepeda Banu yang mengakibatkan ban Banu bocor. Karena
jarak sekolah sudah dekat, akhirnya Banu menuntun sepedanya sampai sekolah.
Sebenarnya tadi Banu ingin mampir ke tukang tambal ban
di dekat sekolah, tapi Banu teringat bahwa tadi pagi ia tidak mendapat uang
saku sehingga ia akhirnya membawa sepedanya yang bocor ke sekolah.
Sampailah Banu di depan pintu gerbang sekolah, ia
bertemu dengan Ahmad, teman sebangkunya.
“Mad. Banku bocor nih.”
“Kenapa tadi tidak langsung mampir ke bengkelnya Pak
Dodon. Kan enak, sepulang sekolah tinggal diambil.”
“Rencana seperti itu Mad, tapi hari ini lagi tidak
bawa uang.”
“Kalau aku punya uang pasti aku akan meminjamimu dulu
Ban. Uang sakuku hari ini juga tidak cukup. Hanya 2000 rupiah.” Ahmad merasa
kasihan kepada Banu, sahabatnya.
“Tidak apa-apa? Nanti saja setelah pulang sekolah aku
akan ke tukang tambal ban.”
“Kalau begitu nanti aku temani Ban, gimana?” Ahmad
menawarkan diri menemani Banu sebagai wujud kasihan dan tolong menolong sesama
teman.
“Oke. Terimakasih Ahmad.” Ucap Banu sambil
tersenyum bahagia.
***
Setelah
pulang sekolah Ahmad menemani Banu ke Bengkel Pak Dodon yang terletak tidak
jauh dari sekolah.
“Pak, mau nambal ban.” Kata Banu kepada Pak Dodon.
“Tapi saya tinggal dulu, nanti saya ambil sore.”
“Baiklah.
Sebelum jam 4, ya Nak. Soalnya jam 4 bengkel bapak sudah tutup.”
“Iya
Pak. Insyaallah kami akan datang sebelum jam 4.”
Pulangnya Ahmad mengantarkan Banu sampai di rumah
dengan sepedanya. Sampai di depan rumah, Ibu Banu telah duduk di teras rumah
sambil mengerjakan anyaman enceng gondoknya. Ibu Banu heran mengapa Banu
diantar oleh Ahmad. Karena begitu penasarannya, Ibu Banu bertanya sebelum Banu
mengucapkan salam.
“Ada
apa dengan sepedamu Ban?” Banu terlihat takut. Roman mukanya sedikit pucat. Ia
takut ibu marah padanya.
“Mmmm,
bocor ibu, sekarang ada di bengkel.” Jawab Banu hati-hati. Kemudian ia
mendatangi ibunya dan mencium tangannya.
“Ooowh,
ya sudah tak apa-apa. Tapi ibu belum punya uang. Nanti malam saja minta uang
sama ayahmu.” Ayah Banu adalah lelaki yang bertanggungjawab dan pekerja keras.
Ayah Banu bekerja menjadi kuli bangunan sehingga ia harus pergi bekerja pagi
sekali dan pulang ketika mahgrib menjelang.
“Tapi
bu, Banu sudah berjanji kepada Pak Dodon akan mengambil sepedanya sebelum jam 4
sore nanti.” Protes Banu.
“Ya,
terus bagaimana, uang pemberian Ayah sudah
habis. Kamu tahu sendiri. Tadi pagi juga ibu tidak memberimu uang saku.” Ibu memberikan
penjelasan sembari tangannya asyik dengan anyamannya. “Ya sudah, makan dulu
sana. Nanti ibu carikan pinjaman pada Bu Lik Gina.”
Banu
meninggalkan ibunya. Setelah ganti baju dan cuci tangan ia menuju ke meja
makan. Ia makan siang dengan nasi dan ikan asin, makanan kesukaannya. Ketika
makan ia terus berfikir tentang ibu, pinjaman pada Bu Lik Gina, janji dan
sepedanya. Banu tak ingin memberatkan ibunya dengan meminta pinjaman kepada Bu
Lik Gina.
Akhirnya
setelah makan ia menuju ke kamarnya dan mengambil si jago merah, celengan plastiknya. Banu memang tergolong anak yang
rajin menabung. Sebagian uang sakunya ia tabung. Sekalipun itu hanya 1000 atau
500 rupiah. Dengan bantuan sepotong lidi Banu mengutik-atik celengannya.
Satu-persatu uang 500 an berhasil keluar. Hingga akhirnya terkumpul menjadi
5000 rupiah. Cukuplah untuk membayar jasa menambal ban.
Setelah
itu Banu menemui ibunya.
“Ibu,
Banu sudah punya uang. Jadi bu tidak usah meminjam kepada Bu Lik Gina.”
Ibu Banu sesaat heran tetapi kemudian bibirnya
melengkungkan senyum. Pasti dari celengan jagonya, pikir ibu.
Ia merasa bangga memiliki anak seperti Banu yang selalu mengerti kondisi
keluarganya. Bahkan Banu tak pernah mengeluh ketika tidak diberi uang saku.
“Banu,
pergi dulu, Ibu. Mau ke rumah Ahmad. Dia mau mengantarku ke bengkel. Assalamu’alaikum.” Kata Banu sambil
berlari ke halaman.
“Banu, kamu melupakan sesuatu.” Teriak Ibu.
Banu berhenti lalu berfikir. Iapun kembali menemui
ibunya.
“Apa ibu?” Tanya Banu
“Lupa cium tangan ibu,” jawab ibu sambil tersenyum.
Banu tersenyum sambil mencium tangan ibu. Cium tangan ibu atau ayah merupakan
kebiasaan yang Ibu Banu tanamkan sejak Banu masih kecil.
“Hati-hati ya Nak!”
“Iya ibu.”
Banu pergi dengan hati senang ke rumah Ahmad.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar