Bukan Salah Kecebong
Puluhan ekor
kecebong berputar-putar lincah mencari tempat perlindungan dari kejaran sebuah
gayung terbuat dari cup bekas agar-agar yang diberi pegangan lidi. Beberapa
kecebong berhasil bersembunyi di balik daun-daun akasia yang jatuh ke sawah. Beberapa
yang lain bersembunyi di sela-sela batang padi yang mulai menghijau. Gerakan
yang membabi buta gayung dari cup bekas agar-agar membuat air sawah mengeruh.
Puluhan kecebong bisa bernapas lega. Namun tidak bagi Uling. Ia mulai bosan bersaing
menangkap kecebong. Uling mengalihkan pandangannya ke arah plastik berisi air
di bawah pohon akasia. Dua ekor kecebong berenang di dalamnya.
“Dapat lagi!”
Seorang anak berteriak sambil memamerkan seekor kecebong di gayungnya.
Uling menoleh ke
arah datangnya suara. “Dapat berapa Fen?” tanyanya kemudian.
“Tujuh ekor. Hore
aku menang lagi.” jawab Fendi, girang.
“Aku kalah karena
energiku sudah dikuras saat pelajaran matematika tadi.” Uling membela diri.
“Kalah tetap aja
kalah!”
Dua anak seumuran
Uling dan Fendi datang membawa beberapa makroni dan es lilin.
“Sudah ributnya!
Nih jajananmu.” Ave memberikan satu es lilin dan makroni ke Uling dan Fendi. Uling
dan Fendi mencuci tangannya di air sawah kemudian menerima makroni.
“Menik mana?”
tanya Uling. Biasanya Menik akan memarahi mereka kalau mereka mencuci tangan
dengan air sawah.
“Tadi ke
perpustakaan, jin profesor di tubuhnya lagi bangun. Kita harus siap-siap kapas
untuk menyumpal telinga. Jadi kalau anak itu nyerocos semua yang sudah
dibacanya kita tidak perlu ambil pusing.” jawab Tofik.
“Gue setuju
bingits.” imbuh Ave seraya memonyongkan bibirnya menyerupai salah satu artis
yang ada di televisi.
“Jahat banget.
Menik kan teman kita. Berkat dia, kita tambah pintar.” Uling membela Menik.
“Okelah, ayo kita
lanjutkan berburu kecebong!” Lerai Fendi. “Ave dan Tofik boleh ikut, tapi
jangan menangis kalau kalah. He... he....”
*
SD Negeri III
Brosot terletak di dusun Pulo Brosot Galur Kulon Progo. Sebuah sekolah pedesaan
yang jauh dari hiruk pikuk kendaraan bermotor. Depan dan samping kanan sekolah
adalah area persawahan yang menghijau. Sebuah jalan beraspal membelah area
persawahan, jalan satu-satunya menuju sekolah. Satu hal yang membuat SD Negeri
III Brosot menjadi sekolah yang unik adalah ada satu petak sawah di dalam area
sekolah yang sejak berdiri sampai saat ini masih dipertahankan. Konon, Alasan
mengapa sawah itu masih dipertahankan karena pemilik sawah itu tidak mau menjual
kepada pihak sekolah. Di SD Negeri III Brosot inilah Fendi, Uling, Menik, Tofik
dan Ave bersekolah dan bermain. Salah satu tempat favorit mereka bermain ketika
jam istirahat adalah sepetak sawah itu.
Keisengan mereka
berburu kecebong di sawah membuat mereka di juluki serdadu kecebong. Ke empat
anak itu biasa saja menanggapi julukan mereka. Lain dengan Menik yang kerap
marah ketika di panggil serdadu kecebong. Alasannya cukup masuk akal. Gadis
manis nan sholehah seperti ia tidak pantas disebut kecebong. Kalau Menik
meng-iya-kan berarti ia sama saja mengaminkan kalau ia adalah kecebong. Menik
selalu ingat kata pak ustadz kalau perkataan itu ibarat doa, jadi sampai detik
ini ia masih memegang teguh kata-kata pak ustadz.
Bersambung
kecebong, anakku suka nangkep kecebong terus diplastikin. Hihi
BalasHapuscerpennya bagus loh, kayaknya bakal rajin nih kunjungan kesini, ah ya kalau mau baca cerpen-cerpen teenlit kunjungi blogku yah.. ^^
nuniekkr.blogspot.com
sebenarnya itu cerita pribadiku ketika SD. Trimakasih atas kunjungannya. Siap, segera aku akan berkunjung di blog kakak. :) Dan meninggalkan jejak di sana hehehe
BalasHapus