Kamis, 03 September 2015

Cerpen Anak tentang Petualangan (Serdadu Kecebong)


Bukan Salah Kecebong

            Puluhan ekor kecebong berputar-putar lincah mencari tempat perlindungan dari kejaran sebuah gayung terbuat dari cup bekas agar-agar yang diberi pegangan lidi. Beberapa kecebong berhasil bersembunyi di balik daun-daun akasia yang jatuh ke sawah. Beberapa yang lain bersembunyi di sela-sela batang padi yang mulai menghijau. Gerakan yang membabi buta gayung dari cup bekas agar-agar membuat air sawah mengeruh. Puluhan kecebong bisa bernapas lega. Namun tidak bagi Uling. Ia mulai bosan bersaing menangkap kecebong. Uling mengalihkan pandangannya ke arah plastik berisi air di bawah pohon akasia. Dua ekor kecebong berenang di dalamnya.
            “Dapat lagi!” Seorang anak berteriak sambil memamerkan seekor kecebong di gayungnya.
            Uling menoleh ke arah datangnya suara. “Dapat berapa Fen?” tanyanya kemudian.
            “Tujuh ekor. Hore aku menang lagi.” jawab Fendi, girang.
            “Aku kalah karena energiku sudah dikuras saat pelajaran matematika tadi.” Uling membela diri.
            “Kalah tetap aja kalah!”
            Dua anak seumuran Uling dan Fendi datang membawa beberapa makroni dan es lilin.
            “Sudah ributnya! Nih jajananmu.” Ave memberikan satu es lilin dan makroni ke Uling dan Fendi. Uling dan Fendi mencuci tangannya di air sawah kemudian menerima makroni.
            “Menik mana?” tanya Uling. Biasanya Menik akan memarahi mereka kalau mereka mencuci tangan dengan air sawah.
            “Tadi ke perpustakaan, jin profesor di tubuhnya lagi bangun. Kita harus siap-siap kapas untuk menyumpal telinga. Jadi kalau anak itu nyerocos semua yang sudah dibacanya kita tidak perlu ambil pusing.” jawab Tofik.
            “Gue setuju bingits.” imbuh Ave seraya memonyongkan bibirnya menyerupai salah satu artis yang ada di televisi.
            “Jahat banget. Menik kan teman kita. Berkat dia, kita tambah pintar.” Uling membela Menik.
            “Okelah, ayo kita lanjutkan berburu kecebong!” Lerai Fendi. “Ave dan Tofik boleh ikut, tapi jangan menangis kalau kalah. He... he....”
*
            SD Negeri III Brosot terletak di dusun Pulo Brosot Galur Kulon Progo. Sebuah sekolah pedesaan yang jauh dari hiruk pikuk kendaraan bermotor. Depan dan samping kanan sekolah adalah area persawahan yang menghijau. Sebuah jalan beraspal membelah area persawahan, jalan satu-satunya menuju sekolah. Satu hal yang membuat SD Negeri III Brosot menjadi sekolah yang unik adalah ada satu petak sawah di dalam area sekolah yang sejak berdiri sampai saat ini masih dipertahankan. Konon, Alasan mengapa sawah itu masih dipertahankan karena pemilik sawah itu tidak mau menjual kepada pihak sekolah. Di SD Negeri III Brosot inilah Fendi, Uling, Menik, Tofik dan Ave bersekolah dan bermain. Salah satu tempat favorit mereka bermain ketika jam istirahat adalah sepetak sawah itu.
            Keisengan mereka berburu kecebong di sawah membuat mereka di juluki serdadu kecebong. Ke empat anak itu biasa saja menanggapi julukan mereka. Lain dengan Menik yang kerap marah ketika di panggil serdadu kecebong. Alasannya cukup masuk akal. Gadis manis nan sholehah seperti ia tidak pantas disebut kecebong. Kalau Menik meng-iya-kan berarti ia sama saja mengaminkan kalau ia adalah kecebong. Menik selalu ingat kata pak ustadz kalau perkataan itu ibarat doa, jadi sampai detik ini ia masih memegang teguh kata-kata pak ustadz.
  Bersambung

2 komentar:

  1. kecebong, anakku suka nangkep kecebong terus diplastikin. Hihi
    cerpennya bagus loh, kayaknya bakal rajin nih kunjungan kesini, ah ya kalau mau baca cerpen-cerpen teenlit kunjungi blogku yah.. ^^

    nuniekkr.blogspot.com

    BalasHapus
  2. sebenarnya itu cerita pribadiku ketika SD. Trimakasih atas kunjungannya. Siap, segera aku akan berkunjung di blog kakak. :) Dan meninggalkan jejak di sana hehehe

    BalasHapus