Setiap
bulan September tiba, Mbah Mo selalu teringat akan masa lalunya. Ia tidak
pernah paham kenapa dirinya kemudian dimusuhi, susah mencari pekerjaan, dan hidupnya
terlunta-lunta karena banyak orang tak sudi untuk menolong. Sudah lebih dari
separuh hidupnya, ia hanya bekerja sebagai pemulung, tanpa keluarga. Hidupnya
juga hanya sembarangan, dari rumah kardus satu ke rumah kardus lain. Di
pinggiran rel kereta api.
Setiap
bulan September tiba, Mbah Mo ingat, di masa remajanya ia suka nonton
pertunjukan tari di alun-alun.Ada seorang perempuan seksi yang biasanya ditunggu-tunggu
untuk tampil di panggung. Berpakaian jarik dan kemben yang menonjolkan daging
atas kedua buah dada. Banyak orang menyebutnya ronggeng. Penari inilah yang
kemudian, seingat Mbah Mo, akan melagukan tembang-tembang Jawa termasuk di
antaranya genjer-genjer. Mbah Mo hanya tahu bahwa ia sering sangat terpukau dengan
penampilan perempuan seksi itu. Sebagaimana penonton lain yang di matanya sama
terpukaunya. Maka, bagi yang punya uang berlebih akan memberikan saweran. Bagi
yang nakal malah sekalian menyisipkan uang tersebut di lekukan vertikal dada
sang penari!
Setiap
bulan September tiba, Mbah Mo akan selalu teringat, sudah puluhan kali ia menonton
pertunjukan yang ada penari ronggengnya itu. Sampai suatu waktu, di malam hari,
tiba-tiba saja listrik di kampungnya mati. Ia dibangunkan secara kasar oleh dobrakan
pintu orang yang kemudian berteriak keras supaya ia keluar rumah. Beberapa
orang di antaranya membawa obor. Salah satu di antaranya lantas memukul
tengkuknya dan ia pun terkapar pingsan. Ketika siuman, ia sudah berada di
tangsi tentara, bersama dengan teman-teman lainnya, seusia.
Setiap
bulan September tiba, Mbah Mo terkenang dengan teman-temannya itu, teman-teman
yang setiap harinya menemani lari-lari keliling tangsi, push up dan jika
tak mampu melakukan semuanya dengan baik, maka akan ada hadiah popor senapan
melayang ke badan.
Setiap
bulan September tiba, Mbah Mo akan selalu ingat, sejumlah tentara memintanya
jalan jongkok sampai tepat di depan salah seorang tentara. Tentara tersebut
tidak memintanya berhenti. Maka, tentu saja, Mbah Mo menabrak kakinya. Dan ia
marah. Lagi-lagi popor senapan mengenai punggungnya.
Setiap
bulan September tiba, Mbah Mo akan ingat, seorang tentara menanyainya dengan
banyak pertanyaan.
”Kenapa
kamu orang suka pertunjukan penari ronggeng itu?” demikian salah satu isi
pertanyaan itu.
”Saya
suka karena cantiknya. Yang penting memikat hati, putih, dan mulus,” begitulah
jawaban jujur Mbah Mo yang malah dikira main-main oleh si tentara dan membuat
pundaknya kembali mendapatkan dampratan popor senapan.
”Tahu
nggak apa itu genjer-genjer?”
”Tahu.
Nama sayuran. Nama daun. Enak jika dimasak. Saya paling suka dioseng-oseng.”
”Oseng-oseng
popor maksudmu?!” dampratan popor kembali mengenai pundak Mbah Mo.
Dalam
hitungan pagi hari saja, Mbah Mo ingat, pernah ia sarapan popor senapan sekitar
lima kali. Itulah pengalaman Mbah Mo yang dalam ingatannya disebut sebagai apel
pagi. Pengalaman itu bisa saja setiap hari. Bisa beda tentara yang menanyainya,
namun pertanyaannya bisa sama. Tentu, Mbah Mo menjawabnya akan sama, karena
hanya jawaban itulah yang ada di dalam otaknya.
Setiap
bulan September tiba pula, Mbah Mo lebih suka banyak di rumah kardusnya.
Tiduran. Merokok. Minum seadanya. Di jalanan, di bulan Sepember, kalau ia
bertemu dengan tentara, ia masih suka mak tratap, kaget bukan kepalang.
Anehnya, itu hanya di bulan September. Jika tidak di bulan September, ia biasa
saja ketika bertemu dengan tentara.
Juga
di setiap bulan September tiba, Mbah Mo lebih banyak cemburu melihat anak-anak
muda yang dulu ketika ia seusia segitu, lebih banyak berada di dalam penjara.
Kesibukannya hanya membersihkan rumputan sekitar penjara, memijiti
kawan-kawannya senasib dan menuruti kemauan sipir untuk mengurusi ternak ayam,
kelinci, bebek, atau apa pun milik mereka. Mengurusi kotorannya, memberi
makanan dan minuman, namun tak pernah merasakan panen. Maka, begitu di masa sekarang
ia melihat anak-anak muda yang begitu banyak se-nyum di jalanan, saling
berangkulan dengan pacarnya begitu mesra, rasanya Mbah Mo hanya bisa merutuk
kepada Tuhan.
”Ya
Tuhan, apakah kamu memangbenar-benar adil?”
Tentu
Mbah Mo tidak bisa mendapatkan jawaban yang pasti atas pertanyaannya. Yanog
pasti, yang ia rasakan,semenjak muda lebih banyak hidupnya menderita. Padahal,
menurutnya, ia tidak pernah melakukan kesalahan. Ia hanya berbuat sesuai hati nurani,
yang ia sukai, tanpa pernah merugikan orang lain. Namun lebih banyak orang
menganggapnya salah.
Setiap
bulan September tiba, Mbah Mo akan terkenang dengan teman-temannya sesama di
penjara, yang lebih banyak sudah tiada. Sebagian ada yang hidupnya di hari tua
sakit-sakitan. Selalu mengeluh katanya tulangtulangnya terasa remuk. Ada yang
semenjak di penjara dan di hari tuanya tuli kedua telinganya. Ada yang kedua kakinya
pincang, tangannya hanya berfungsi satu, dan yang lain.
Pernah,
ada seseorang bertanya pada Mbah Mo. Ngakunya sebagai wartawan. Ia menanyakan
apakah Mbah Mo dendam terhadap tentara? Mbah Mo menjawab cekatan dan tegas,
tidak. Sebab, menurut Mbah Mo, pada saat itu mereka juga tidak tahu apa- apa. Mereka
hanya bekerja saja. Bekerja. Itulah yang menurut Mbah Mo menjadikan tidak
salah. Maka, tak perlu didendami, tak perlu dibenci.
Pernah
pula, wartawan itu bertanya, apa yang Mbah Mo inginkan jika misalnya putaran
waktu bisa berbalik? Di masa muda ia tak menemui popor senapan? Menurut Mbah
Mo, jika nasib bisa kembali berbalik, ia hanya ingin hidupnya nyaman ketika
nonton tarian, ketika nonton ronggeng. Ia hanya ingin kesukaannya tidak ada yang
mengganggu. Baginya, itu sudah lebih dari cukup. Ia tidak ingin yang berlebih,
ia hanya ingin ke mana-mana bisa tidak dipersalahkan. Apalagi memang ia sangat
yakin, tidak pernah membuat kesalahan. Kecuali jika ia memang membuat
kesalahan, wajar jika mendapatkan hukuman.
Setiap
bulan September tiba, Mbah Mo selalu lebih banyak berdoa: ia ingin sehat lebih
lama lagi. Apalagi, tubuhnya tidak ada yang mengalami cacat berarti.
Pendengarannya tetap baik, matanya tetap awas, bicaranya tetap lancar, napasnya
tetap teratur dan kondisi tubuhnya tetap segar meskipun usianya sudah kepala
delapan. Mbah Mo hanya tahu, harapan satu satunya yang menenangkan hidupnya hanyalah
berdoa. Meskipun hingga di hari tuanya pula, ia masih merasa belum menemukan
jawaban atas pertanyaannya kepada Tuhan: apakah memang apa yang diberikan Tuhan
padanya sudah cukup adil?
Perum Kasongan Permai,
Agustus 2015
Jumlah
kata : 947
Karakter
tanpa spasi : 5.554
sumber : Epaper SKH Kedaulatan Rakyat, Minggu, 13 September 2015 hal. 16
Apabila ada penulis yang merasa keberatan cerpennya saya "klipingkan" di blog saya. bisa langsung menghubungi email saya inay9389@gmail.com. Dan cerpen tersebut akan segera saya hapus.Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar