Senin, 14 September 2015

Cerpen Mbah Mo dan Bulan September

karya Satmoko Budi Santoso



Setiap bulan September tiba, Mbah Mo selalu teringat akan masa lalunya. Ia tidak pernah paham kenapa dirinya kemudian dimusuhi, susah mencari pekerjaan, dan hidupnya terlunta-lunta karena banyak orang tak sudi untuk menolong. Sudah lebih dari separuh hidupnya, ia hanya bekerja sebagai pemulung, tanpa keluarga. Hidupnya juga hanya sembarangan, dari rumah kardus satu ke rumah kardus lain. Di pinggiran rel kereta api.

Setiap bulan September tiba, Mbah Mo ingat, di masa remajanya ia suka nonton pertunjukan tari di alun-alun.Ada seorang perempuan seksi yang biasanya ditunggu-tunggu untuk tampil di panggung. Berpakaian jarik dan kemben yang menonjolkan daging atas kedua buah dada. Banyak orang menyebutnya ronggeng. Penari inilah yang kemudian, seingat Mbah Mo, akan melagukan tembang-tembang Jawa termasuk di antaranya genjer-genjer. Mbah Mo hanya tahu bahwa ia sering sangat terpukau dengan penampilan perempuan seksi itu. Sebagaimana penonton lain yang di matanya sama terpukaunya. Maka, bagi yang punya uang berlebih akan memberikan saweran. Bagi yang nakal malah sekalian menyisipkan uang tersebut di lekukan vertikal dada sang penari!

Setiap bulan September tiba, Mbah Mo akan selalu teringat, sudah puluhan kali ia menonton pertunjukan yang ada penari ronggengnya itu. Sampai suatu waktu, di malam hari, tiba-tiba saja listrik di kampungnya mati. Ia dibangunkan secara kasar oleh dobrakan pintu orang yang kemudian berteriak keras supaya ia keluar rumah. Beberapa orang di antaranya membawa obor. Salah satu di antaranya lantas memukul tengkuknya dan ia pun terkapar pingsan. Ketika siuman, ia sudah berada di tangsi tentara, bersama dengan teman-teman lainnya, seusia.

Setiap bulan September tiba, Mbah Mo terkenang dengan teman-temannya itu, teman-teman yang setiap harinya menemani lari-lari keliling tangsi, push up dan jika tak mampu melakukan semuanya dengan baik, maka akan ada hadiah popor senapan melayang ke badan.

Setiap bulan September tiba, Mbah Mo akan selalu ingat, sejumlah tentara memintanya jalan jongkok sampai tepat di depan salah seorang tentara. Tentara tersebut tidak memintanya berhenti. Maka, tentu saja, Mbah Mo menabrak kakinya. Dan ia marah. Lagi-lagi popor senapan mengenai punggungnya.

Setiap bulan September tiba, Mbah Mo akan ingat, seorang tentara menanyainya dengan banyak pertanyaan.

”Kenapa kamu orang suka pertunjukan penari ronggeng itu?” demikian salah satu isi pertanyaan itu.

”Saya suka karena cantiknya. Yang penting memikat hati, putih, dan mulus,” begitulah jawaban jujur Mbah Mo yang malah dikira main-main oleh si tentara dan membuat pundaknya kembali mendapatkan dampratan popor senapan.

”Tahu nggak apa itu genjer-genjer?”

”Tahu. Nama sayuran. Nama daun. Enak jika dimasak. Saya paling suka dioseng-oseng.”

”Oseng-oseng popor maksudmu?!” dampratan popor kembali mengenai pundak Mbah Mo.

Dalam hitungan pagi hari saja, Mbah Mo ingat, pernah ia sarapan popor senapan sekitar lima kali. Itulah pengalaman Mbah Mo yang dalam ingatannya disebut sebagai apel pagi. Pengalaman itu bisa saja setiap hari. Bisa beda tentara yang menanyainya, namun pertanyaannya bisa sama. Tentu, Mbah Mo menjawabnya akan sama, karena hanya jawaban itulah yang ada di dalam otaknya.

Setiap bulan September tiba pula, Mbah Mo lebih suka banyak di rumah kardusnya. Tiduran. Merokok. Minum seadanya. Di jalanan, di bulan Sepember, kalau ia bertemu dengan tentara, ia masih suka mak tratap, kaget bukan kepalang. Anehnya, itu hanya di bulan September. Jika tidak di bulan September, ia biasa saja ketika bertemu dengan tentara.

Juga di setiap bulan September tiba, Mbah Mo lebih banyak cemburu melihat anak-anak muda yang dulu ketika ia seusia segitu, lebih banyak berada di dalam penjara. Kesibukannya hanya membersihkan rumputan sekitar penjara, memijiti kawan-kawannya senasib dan menuruti kemauan sipir untuk mengurusi ternak ayam, kelinci, bebek, atau apa pun milik mereka. Mengurusi kotorannya, memberi makanan dan minuman, namun tak pernah merasakan panen. Maka, begitu di masa sekarang ia melihat anak-anak muda yang begitu banyak se-nyum di jalanan, saling berangkulan dengan pacarnya begitu mesra, rasanya Mbah Mo hanya bisa merutuk kepada Tuhan.

”Ya Tuhan, apakah kamu memangbenar-benar adil?”

Tentu Mbah Mo tidak bisa mendapatkan jawaban yang pasti atas pertanyaannya. Yanog pasti, yang ia rasakan,semenjak muda lebih banyak hidupnya menderita. Padahal, menurutnya, ia tidak pernah melakukan kesalahan. Ia hanya berbuat sesuai hati nurani, yang ia sukai, tanpa pernah merugikan orang lain. Namun lebih banyak orang menganggapnya salah.

Setiap bulan September tiba, Mbah Mo akan terkenang dengan teman-temannya sesama di penjara, yang lebih banyak sudah tiada. Sebagian ada yang hidupnya di hari tua sakit-sakitan. Selalu mengeluh katanya tulangtulangnya terasa remuk. Ada yang semenjak di penjara dan di hari tuanya tuli kedua telinganya. Ada yang kedua kakinya pincang, tangannya hanya berfungsi satu, dan yang lain.

Pernah, ada seseorang bertanya pada Mbah Mo. Ngakunya sebagai wartawan. Ia menanyakan apakah Mbah Mo dendam terhadap tentara? Mbah Mo menjawab cekatan dan tegas, tidak. Sebab, menurut Mbah Mo, pada saat itu mereka juga tidak tahu apa- apa. Mereka hanya bekerja saja. Bekerja. Itulah yang menurut Mbah Mo menjadikan tidak salah. Maka, tak perlu didendami, tak perlu dibenci.

Pernah pula, wartawan itu bertanya, apa yang Mbah Mo inginkan jika misalnya putaran waktu bisa berbalik? Di masa muda ia tak menemui popor senapan? Menurut Mbah Mo, jika nasib bisa kembali berbalik, ia hanya ingin hidupnya nyaman ketika nonton tarian, ketika nonton ronggeng. Ia hanya ingin kesukaannya tidak ada yang mengganggu. Baginya, itu sudah lebih dari cukup. Ia tidak ingin yang berlebih, ia hanya ingin ke mana-mana bisa tidak dipersalahkan. Apalagi memang ia sangat yakin, tidak pernah membuat kesalahan. Kecuali jika ia memang membuat kesalahan, wajar jika mendapatkan hukuman.

Setiap bulan September tiba, Mbah Mo selalu lebih banyak berdoa: ia ingin sehat lebih lama lagi. Apalagi, tubuhnya tidak ada yang mengalami cacat berarti. Pendengarannya tetap baik, matanya tetap awas, bicaranya tetap lancar, napasnya tetap teratur dan kondisi tubuhnya tetap segar meskipun usianya sudah kepala delapan. Mbah Mo hanya tahu, harapan satu satunya yang menenangkan hidupnya hanyalah berdoa. Meskipun hingga di hari tuanya pula, ia masih merasa belum menemukan jawaban atas pertanyaannya kepada Tuhan: apakah memang apa yang diberikan Tuhan padanya sudah cukup adil?

Perum Kasongan Permai,
Agustus 2015


Jumlah kata : 947
Karakter tanpa spasi : 5.554
sumber : Epaper SKH Kedaulatan Rakyat, Minggu, 13 September 2015 hal. 16

Apabila ada penulis yang merasa keberatan cerpennya saya "klipingkan" di blog saya. bisa langsung menghubungi email saya inay9389@gmail.com. Dan cerpen tersebut akan segera saya hapus.Terima kasih.

Jumat, 11 September 2015

Kirim PERCIKAN ke majalah GADIS


Pagi ini, aku blogwalking ke tetangga-tetangga blog. Eh nemu sebuah blog yang mennurut aku rekomended banget untuk setiap hari dikunjungi hehehe.

di dalam blog itu terdapat banyak banget info tentang kepenulisan. PAsti pada penasaran kan. Tara ini dia blog yang aku maksud Menulis dengan Hati, blognya kak Fira. (maaf kakak fira, belum ijin hehehehe)

Dari sanalah aku baca beberapa karya kak fira yang di muat di majalah GADIS untuk rubrik PERCIKAN. Jadi inget jaman dulu aku ngirim tapi gak dimuat. hehehe. Dari pada tulisanku terlantar mending aku posting aja di sini.

(gak jelek-jelek amat sih)

Oya nanti di akhir cerita aku akan membagi KETENTUAN MENGIRIM PERCIKAN ke majalah Gadis.  

FOTO LAKI-LAKI

Sore itu, setelah silau petir mengoyak langit, guntur  seolah-olah menyalak-nyalak tepat di atas  kepala Aprilia. Aprilia tidak takut. Tepatnya, ia memaksakan diri untuk tidak takut. Karena ketakutan akan membawanya ke dalam pelukan mama.
Kali ini, Aprilia tidak menginginkan pelukan mama lagi.
Tubuh Aprilia menggigil di dekat jendela. Tangannya mencengkeram tirai dengan kuat. Air yang sedari tadi menggenang di kantung matanya meleleh perlahan di kedua pipi tanpa isak.
Mendengar petir dan guntur, mama berlari tergopoh-gopoh menghampiri Aprilia, dari belakang ia memeluk anak semata wayangnya. Tapi Aprilia meronta, melepaskan pelukan mamanya dan berlari ke kamar. Mama memandanginya sampai menghilang di balik pintu dengan heran.
“Kenapa Nak? Tak biasanya kamu bertingkah seperti ini. Mungkinkah patah hati?” gumam mama sambil menggelengkan kepalanya dan tersenyum getir.
***
            Di luar rumah, hujan kian menderas, petir dan kilat masih memporak-porandakan langit. Alam memang membutuhkan hujan disertai petir dan guntur sebagai penawar kemarau yang panjang. Tapi bagaimana dengan hati? Hati kerap kali menampik hujan disertai petir dan guntur karena ia akan membuat guratan yang sulit dihilangkan. 
Di dalam kamar, badai petir dan guntur sedang menerjang hati Aprilia. Hujan air mata menderas, membentuk aliran-aliran sungai yang tak bermuara. Aprilia merasa dikhianati.
Dari luar kamar, Mama Aprilia mengetuk-ketuk pintu kamar Aprilia.
“Makan dulu, Nak. Mama buatin makanan kesukaanmu lho. Orak-arik kembang kol.”
Mendengar suara rayuan mamanya yang khas, isak Aprilia mengeras sampai terdengar dari balik pintu. Hal ini membuat hati mamanya teriris perih. Mama belum pernah menemukan Aprilia bertingkah seperti ini sejak ayahnya meninggal, dua tahun yang lalu. Dahulu setelah ayahnya meninggal, selama tiga hari Aprilia tidak mau keluar rumah dan mengurung diri di kamar. Akhirnya wali kelas datang ke rumah untuk memastikan keadaan putrinya. Mama berharap itu tidak akan terjadi lagi kali ini, mama yakin anaknya yang hampir masuk SMA tentu pemikirannya telah berkembang sehingga ia tidak akan berbuat hal yang sama seperti waktu itu. Kalaupun ia patah hati tidak akan sampai berlarut-larut.
Mama diam sejenak, memasang telinganya namun tidak ada jawaban. Hanya isak tangis yang belum juga tuntas.
***
Waktu itu, saat Aprilia mencari kartu keluarga di lemari mama, tiba-tiba selembar foto laki-laki ikut terambil dan jatuh di kakinya. Laki-laki seumuran ibu dengan kemeja krem dan celana jean, rambutnya gondrong menjuntai sampai ke pundak. Matanya yang tajam membuat laki-laki itu terlihat mempesona. Laki-laki dalam foto itu bukan laki-laki yang pernah tinggal di rumah ini. Bukan ayahnya. Ia belum pernah melihat laki-laki itu sebelumnya, tapi sorot matanya mengingatkan Aprilia pada sosok yang pernah ia kenal. Tapi siapa?
 Ada laki-laki lain di rumah. Mama telah mengkhianati papa, mengkhianati cinta, itu sama artinya mama telah mengkhianati dirinya sebagai buah dari cinta mereka.
***
“Mama sama sekali tidak mengkhianati papa. Papa tetap ada di hati mama. Hanya saja mama butuh seseorang untuk mama cintai, lagi.” jawab mama.
“Mama punya Aprilia, apa itu tidak cukup.”

Mama menggeleng. Dan Aprilia semakin tidak mengerti.

Ketentuan kirim percikan ke majalah Gadis
1.  Panjang tulisan 2 halaman folio aja 
2.  Tema : seputar dunia remaja (ya iyalah masak dunia kakek ninek)
3.  Kirim ke GADIS.redaksi@feminagroup.com
4. Sertakan no rekening dan fotokopi buku tabungan. (sesuai info di blognya mbak fira)

Senin, 07 September 2015

Kumpulan Alamat Epaper Koran

Buat teman-teman yang ingin membaca koran minggu untuk melihat tulisannya dimuat atau tidak tetapi lagi bokek, bisa melihat epapernya aja. Di bawah ini beberapa koran yang menyediakan epaper.




1.  Epaper kedaulatan rakyat 

--) Untuk bisa membuka epapernya teman-teman harus mempunyai akun terlebih dahulu. pembuatan akunnya cukup mudah jadi jangan sungkan untuk membuatnya. :)









2. Suara Merdeka

--) Sama seperti epaper Kedaulatan Rakyat untuk bisa membuka epapernya teman-teman harus mempunyai akun terlebih dahulu.







3. Pikiran Rakyat

--) Sama seperti epaper Kedaulatan Rakyat untuk bisa membuka epapernya teman-teman harus mempunyai akun terlebih dahulu.







4. Banjarmasin Post 

--) bisa langsung membaca epapernya tanpa login. :)

5. Jawa Pos




Kamis, 03 September 2015

Cerpen Anak tentang Petualangan (Serdadu Kecebong)


Bukan Salah Kecebong

            Puluhan ekor kecebong berputar-putar lincah mencari tempat perlindungan dari kejaran sebuah gayung terbuat dari cup bekas agar-agar yang diberi pegangan lidi. Beberapa kecebong berhasil bersembunyi di balik daun-daun akasia yang jatuh ke sawah. Beberapa yang lain bersembunyi di sela-sela batang padi yang mulai menghijau. Gerakan yang membabi buta gayung dari cup bekas agar-agar membuat air sawah mengeruh. Puluhan kecebong bisa bernapas lega. Namun tidak bagi Uling. Ia mulai bosan bersaing menangkap kecebong. Uling mengalihkan pandangannya ke arah plastik berisi air di bawah pohon akasia. Dua ekor kecebong berenang di dalamnya.
            “Dapat lagi!” Seorang anak berteriak sambil memamerkan seekor kecebong di gayungnya.
            Uling menoleh ke arah datangnya suara. “Dapat berapa Fen?” tanyanya kemudian.
            “Tujuh ekor. Hore aku menang lagi.” jawab Fendi, girang.
            “Aku kalah karena energiku sudah dikuras saat pelajaran matematika tadi.” Uling membela diri.
            “Kalah tetap aja kalah!”
            Dua anak seumuran Uling dan Fendi datang membawa beberapa makroni dan es lilin.
            “Sudah ributnya! Nih jajananmu.” Ave memberikan satu es lilin dan makroni ke Uling dan Fendi. Uling dan Fendi mencuci tangannya di air sawah kemudian menerima makroni.
            “Menik mana?” tanya Uling. Biasanya Menik akan memarahi mereka kalau mereka mencuci tangan dengan air sawah.
            “Tadi ke perpustakaan, jin profesor di tubuhnya lagi bangun. Kita harus siap-siap kapas untuk menyumpal telinga. Jadi kalau anak itu nyerocos semua yang sudah dibacanya kita tidak perlu ambil pusing.” jawab Tofik.
            “Gue setuju bingits.” imbuh Ave seraya memonyongkan bibirnya menyerupai salah satu artis yang ada di televisi.
            “Jahat banget. Menik kan teman kita. Berkat dia, kita tambah pintar.” Uling membela Menik.
            “Okelah, ayo kita lanjutkan berburu kecebong!” Lerai Fendi. “Ave dan Tofik boleh ikut, tapi jangan menangis kalau kalah. He... he....”
*
            SD Negeri III Brosot terletak di dusun Pulo Brosot Galur Kulon Progo. Sebuah sekolah pedesaan yang jauh dari hiruk pikuk kendaraan bermotor. Depan dan samping kanan sekolah adalah area persawahan yang menghijau. Sebuah jalan beraspal membelah area persawahan, jalan satu-satunya menuju sekolah. Satu hal yang membuat SD Negeri III Brosot menjadi sekolah yang unik adalah ada satu petak sawah di dalam area sekolah yang sejak berdiri sampai saat ini masih dipertahankan. Konon, Alasan mengapa sawah itu masih dipertahankan karena pemilik sawah itu tidak mau menjual kepada pihak sekolah. Di SD Negeri III Brosot inilah Fendi, Uling, Menik, Tofik dan Ave bersekolah dan bermain. Salah satu tempat favorit mereka bermain ketika jam istirahat adalah sepetak sawah itu.
            Keisengan mereka berburu kecebong di sawah membuat mereka di juluki serdadu kecebong. Ke empat anak itu biasa saja menanggapi julukan mereka. Lain dengan Menik yang kerap marah ketika di panggil serdadu kecebong. Alasannya cukup masuk akal. Gadis manis nan sholehah seperti ia tidak pantas disebut kecebong. Kalau Menik meng-iya-kan berarti ia sama saja mengaminkan kalau ia adalah kecebong. Menik selalu ingat kata pak ustadz kalau perkataan itu ibarat doa, jadi sampai detik ini ia masih memegang teguh kata-kata pak ustadz.
  Bersambung