Kasus korupsi di Indonesia masih
menjadi tranding topik diberbagai media, baik cetak maupun elektronik. Tak
ubahnya sebuah sinetron, kasus korupsi memasuki episode yang sangat panjang.
Dan sulit diketahui ujungnya. Ibarat kata story
never ending. Belum selesai kasus Century, muncul lagi kasus korupsi wisma
altet dan hambalang, dan terakhir kasus impor daging sapi. Bahkan departemen
agama yang notabenenya “tahu agama” tersangkut korupsi pengadaan Al-quran. Dari
berbagai kasus korupsi yang terkuak, terlihat oknum yang terlibat korupsi
semakin meluas, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian, politisi
parpol dan aparatur pemerintahan. Belum lagi ditambah kasus-kasus korupsi kelas
teri yang belum terkuak dan yang tidak terkuak. Maka akan menambah daftar kasus
korupsi di negeri ini. Apalagi jika melihat situasi negeri ini yang akan
memasuki Pemilu 2014, diprediksi kasus korupsi akan semakin marak.
Korupsi adalah sebuah tindakan
penyalahgunaan kekuasaan/jabatannya. “Mental korup” adalah budaya
sosial-politik yang diwariskan turun-temurun di negeri ini. Sepanjang
perjalanan sejarah Indonesia, budaya korupsi sudah ada sejak masa penjajahan
colonial Belanda. Dimana biasanya dilakukan oleh para jendral yang bertugas di
suatu wilayah dan pada kesempatan lain dilakukan oleh orang-orang pribumi
(antek Belanda) yang menjabat sebagai demang, atau tumenggung di dalam suatu
wilayah. Begitu juga pada masa Orde lama dan orde baru, korupsi merambah hampir
ke semua lini kehidupan yang terjadi secara sistemik. Budaya korupsi itu pun
berlanjut hingga sekarang.
Layaknya penyakit perilaku
korupsi di Indonesia sudah memasuki stadium IV. Berbagai upaya telah dilakukan
pemerintah guna memberantas dan mencegah tindakan korupsi. Tindakan
pemberantasan dilakukan dengan membentuk lembaga independen bernama Komisi
Pemberantasan korupsi. Selanjutnya tindakan pencegahan dilakukan dengan menitik
beratkan pada pendidikan, terutama melalui pendidikan karakter.
Pendidikan karakter dipandang
sebagai suatu langgkah jitu mengatasi
degradasi moral khususnya “watak korup” yang merupakan warisan turun temurun. Sebagaimana pendapat Doni Koesoema A.
Pendidikan karakter bisa menjadi sebuah jalan keluar bagi proses perbaikan
dalam masyarakat kita. Situasi yang ada menjadi alas an utama agar pendidikan
karakter segera dilakukan dalam lembaga pendidikan kita. (2007:116). Maka tak
mengherankan jika kemudian jika
Kementerian Pendidikan Nasional bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi berencana menerapkan Pendidikan Karakter Anti Korupsi dalam kurikulum
prasekolah, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK, dan perguruan tinggi.
Banyak pihak yang berpendapat
bahwa pendidikan karakter pada akhirnya hanya akan menjadi pelengkap saja, dan
bernasib sama dengan pengajaran moral dan agama yang berkutat pada teori tanpa
diimbangi dengan praktek di lapangan. Sehingga meninggalkan PR besar yang masih
kita kantongi hingga kini yakni mampukah pendidikan karakter itu membumi guna mencegah
tindakan korupsi?
Pendidikan
dapat diartikan sebagai upaya untuk memanusiakan manusia. Sementara karakter
adalah cara berfikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas seseorang dalam
menjalani hidupnya serta memecahkan semua problematika kehidupannya. Sehingga
pendidikan karakter dapat diartikan sebagai upaya membentuk manusia memiliki
cara berfikir dan berperilaku yang unik/khas dalam menjalani kehidupannya serta
memecahkan semua problematika kehidupannya. Dalam memecahkan permasalahannya
ini, yang menjadi acuan atau tolak ukurnya adalah keyakinan (agama), dan norma
yang ada. Untuk itu orang yang dapat memecahkan permasalahnya dengan
menyandarkannya baik pada agama ataupun norma yang berlaku dapat dikatakan
sebagai orang yang berkarakter.
Pendidikan karakter digagas dan
ditawarkan dalam dunia pendidikan sejalan dengan visi pendidikan dalam UU
Sisdiknas tahun 2003 yaitu agar pendidikan tidak hanya membentuk insan
Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter sehingga
nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh dengan karakter yang bernafas
nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Nilai-nilai yang ingin ditanamkan antara
lain karakter cinta kepada Tuhan, kemandirian, jujur, amanah, santun, dermawan,
suka menolong dan gotong royong, percaya diri, toleransi, kepemimpinan, dan
keadilan.
Pendidikan
karakter, menurut pandangan saya sejatinya sudah ada sejak Adam dilahirkan
berlanjut hingga pada masa nabi Muhammad yang diutus sebagai penyempurna
pendidikan karakter tersebut. Tentu,
meskipun dahulu tidak disebutkan bahwa aktivitas para nabi adalah pendidikan
karakter. Namun pada hakikatnya aktivitas-aktivitas yang dilakukan para nabi
dan Rosul adalah aktivitas membentuk karakter yang khas bagi manusia untuk
mengatasi problematika kehidupannya. Pada masa Rosul Muhammad Saw, pembentukan
karakter dilakukan dengan pembinaan para sahabat Rosulullah di rumahnya Arqom. Pembinaan
yang dilakukan adalah pembinaan
komprehensif dan integral, mencakup seluruh aspek kehidupan, terutama
pembinaan tentang akidah karena akidah adalah pondasi pokok keimanan. Ibarat
sebuah bangunan, akidah adalah tiang penyangga bangunan tersebut. Dari rumah
itulah lahirlah sosok-sosok sahabat yang berkarakter khas dan unik sesuai
ajaran islam. Dengan karakter itulah Rosulullah dan para sahabat menjalani
hidupnya di masyarakat serta berupaya menyebarkannya karakter itu kepada
orang-orang quraisy.
Maka
jika melihat perjuangan Rosulullah dalam membentuk karakter para sahabat dan
dicocokkan dengan konteks sekarang, situasi pada masa Rosulullah hampir sama
dengan kondisi saat ini. Saat itu di Arab dilanda kejahiliyahan baik dalam
berfikir maupun dalam bertindak. Culas, serakah, korupsi, memakan harta riba,
hingga membunuh bayi perempuan. Jika menengok era kinian kondisi di arab saat
itu sebelas dua belas dengan saat ini. Dengan mencontoh pendidikan
karakter yang Rosulullah terapkan kepada
para sahabat, keluarga dan masyarakat luas, ada beberapa poin yang patut saya
garis bawahi. Pertama, Komitmen.
Rosulullah dari awal telah memiliki komitmen yang kuat dalam membenahi tatanan
kehidupan saat itu. Banyak orang Quraisy saat itu mencemooh dan menganiaya
tindakan Rosulullah, bahkan percobaan pembunuhan pun tak bisa dielakkan.
Sekalipun demikian, tidak pernah ada selintas pemikiran untuk menyerah. Dan komitmen
inilah yang semestinya dimiliki oleh 3 aspek pendidikan karakter yakni keluarga
(orang tua), sekolah (pendidik) dan masyarakat untuk mewujudkan tercapainya
keberhasilan pendidikan karakter. Tidak terpenuhinya salah satu aspek di atas
akan membuat pendidikan karakter menjadi mentah.
Kedua, Menanamkan
karakter sejak usia dini. Sepertinya Rosulullah sangat paham, bahwa usia dini
adalah masa yang sangat menentukan kesuksesan anak menghadapi tantangan zaman
sehingga beliaulah yang mendidik putri-putri mereka dengan pengajaran dan
keteladanan. Beberapa pakar menyatakan bahwa usia dini disebut juga golden age
(masa-masa umur emas). Pada usia dini, anak- anak dapat menyerap berbagai macam
memori. Karakter apa yang diajarkan orang tua ataupun pendidik akan diserap
dengan cepat. Misalnya ketika anak merusak sesuatu kemudian di pukul maka
karakter yang terbentuk adalah anak penakut. Pada usia ini, keluarga dalam hal
ini orang tua harus memberikan penguatan akidah. Disamping juga
pengetahuan-pengetahuan/maklumat yang benar.