Quote di atas dengan sengaja kupasang diawal sebelum aku mengepos cerita anak yang terbit di rubrik kawanku koran kedaulatan rakyat edisi Minggu, 26 April 2015. Alasannya, aku ingin mensugesti diri sendiri. Bukankah ada orang yang bilang quote sering kali bisa membuat kekuatan sendiri bagi seseorang. :)
Namun, ada beberapa catatan yang menurutku agak kurang pas. Maklum, aku memang sering koment, meski masih belum menjadi ahli. Yah, itung-itung sebagai proses untuk belajar. Betul tak?
1. Terlalu banyak dialog. Menurut saya lho ya.
2. Setiap mengakhiri dialog selalu diakhiri dengan tanda koma (,). Menurut para suhu di Kelas Online Bimbingan Menulis Novel (KOBIMO) tanda baca diakhir dialog itu menunjukkan ekspresi, Misal tanda seru (!) ni dipake saat kaget or teriak.
3. Pertanyaan ketiga yang masih mengganjal, sebenarnya peri gigi itu ada atau tidak. Wkwkwkwk. Lupakan.
Aku menulis ini bukan bermaksud menggurui, tetapi sebagai mediaku untuk belajar.
Sudah dulu basa-basi yang panjang kali lebar kali tinggi sama dengan volume.
Peri Gigi Itu Ada atau Tidak?
Oleh: Anatasia Yuniarti Wadhas Wulan
“Bunda, hari
ini ada pemeriksaan gigi di sekolah,” kata Jessy pada bundanya.
“Lho, bagus
dong.” kata Bunda.
“Iya, sih. Tapi
gigi depanku keropos. Aku khawatir kalau harus dicabut,” kata Jessy.
“Sayangku
dokter tidak akan sembarangan mencabut gigi. Kalau tidak goyang tidak akan
dicabut. Percaya deh sama Bunda.” Kata Bunda menyakinkan .
“Iya, deh.”
Dengan langkah
penuh percaya diri Jessy memasuki halaman sekolahnya. Bundanya melambaikan
tangan.
Saat diperiksa,
dengan mantap Jessy menunjukkan giginya kepada dokter gigi.
“Wah gigimu
rapi ya. Harus rajin gosok gigi sehabis makan, agar tidak keropos.” kata dokter
gigi.
Jessy kembali
ke tempat duduknya dengan lega. Benar kata Bunda, giginya tidak akan dicabut.
“Eh ... gigiku
sudah goyang lho. Kata dokter, itu pertanda aku sudah besar.” Kata Siska saat
sampai ke tempat duduknya.
“Kok aku belum
goyang, ya?” tanya Jessy cemas.
“Ha... ha...ha...,”
teman – teman menertawakan.
Melihat kkegaduhan
itu, Bu Guru mendekati mereka,
“Semua orang
memiliki waktu yang berbeda kapan giginya tanggal.” Bu Guru menjelaskan.
“Oooo...,” seru
anak – anak seperti paduan suara.
“Aku kemarin
tanggal gigi bawah,” kata Yuta.
“Eh... kalau
gigi bawah yang copot harus dibuang ke atas genting. Nanti gigi barunya sepat
tumbuh.” komentar Anggit yang sudah mengalami tanggal gigi dua kali.
“Aku meletakkan
gigiku di bawah bantal. Eh, paginya berubah menjadi kado. Mungkinkah dari peri
gigi, ya?” kenang Alfito tak mau kalah.
“Memangnya peri
gigi itu ada?” tanya Jessy.
“Entahlah,”
sahut Anggit dan Siska hampir bersamaan.
***
“Bunda, peri gigi itu ada atau tidak?”
“Kenapa?” tanya
Bunda.
“Aku mau dapat
hadiah kalau gigiku tanggal,” kata Jessy penuh harap.
“Gigimu sudah
ada yang goyang?” tanya Jessy penuh selidik.
“Hiii ...,”
Jessy meringis menunjukkan giginya.
“Wah anak Bunda
sudah besar dong,” kata Bunda dengan rasa bangga.
“Bagaimana
caranya agar dapat hadiah, Bunda?” tanya Jessy penuh harap.
“Kalau cabut
gigi sendiri pasti dapat hadiah,” kata Bunda sambil tersenyum.
Betapa senangnya
mendapat hadiah dari peri gigi. Tetapi Jessy masih cemas membayangkan rasa
sakit ketika cabut gigi. Bunda menyarankan untuk sering - sering menggoyangkan
gigi agar tidak neyri saat dicabut.
“Bayangkan
hujan jam tangan dengan gambar kartun kesayanganmu,” pinta Bunda sambil
mencabut gigi Jessy.
“Eh, ternyata
enggak sakit ya, Bun. Kenapa berdarah ya, Bun?”
“Ya, karena ada
pembuluh darah yang rusak, jadi berdarah,” jelas Bunda.
“Bunda dulu
juga begitu, ya?”
“Ya.... Tapi
beberapa hari kemudian gigi baru akan tumbuh dan lebih kuat.”
Jessy menunggu
gigi barunya dengan senang. Apalagi dia sudah mendapat hadiah jam tangan
bergambar tokih kartun kesayangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar