Dan jika kau atau aku adalah bumi maka ia akan teratur
berotasi. Berevolusi mengelilingi matahari, beredar sesuai garis edar. Serupa
kita, bumi dan matahari. Kadang akulah bumi dan kau matahari. Kadang kaulah
matahari dan akulah bumi.
Sungai Progo[1],
kita pernah menyebutnya sebagai dunia kecil kita. Dunia bagi matahari dan bumi
berekreasi. Kurasa kita pernah sedikit naif kala itu. Masih lekat dalam
ingatanku, waktu itu musim kemarau. Aliran sungai Progo tak begitu deras, kau
bermain-main air. Kau melepaskan sandalmu. Kakimu yang mungil menapak lincah di
bebatuan yang legam. Lalu kau menyuruhku untuk melepas sandalku dan mengajakku
turut serta.
“Tidak, aku di sini saja, bagaimana kalau ada cacing?”
jawabku.
“Kamu yakin, tapi ini airnya sangat menyejukkan
kakiku, bahkan sejuknya menjalar sampai ke hatiku. Apa kamu tak lihat wajahku
berubah menjadi cerah saat pertama kali menginjakkan kaki di air ini?” Rayumu
sambil memamerkan senyum yang selalu kau paksakan terlihat indah. Aku hanya membalas tersenyum.
“Hey, lihat ada ikan kecil-kecil dengan noda di
kepalanya. Wah ekornya juga menawan. Indah sekali.” Katamu kemudian. Sumpah,
aku tidak bisa berdiam diri. Sebagai seorang pengagum sesuatu yang
unik tentu kesempatan melihat ikan unik sangat tak bisa aku lewatkan. Aku pun
menghambur menghampirimu. Kakiku bersentuhan dengan air. Benar. Airnya
menyegarkan kakiku. Aku serasa menjelma putri gurun yang menemukan air.
Akhirnya kita pun berbincang tentang kekaguman akan ikan kecil bernoda di
kepala. Menyatu dengan alam dalam dunia kecil yang kita buat.
Masih di dunia kecil kita, Kali Progo. Kali itu kau
mengajakku memancing. Betapa senangnya aku. Tapi aku sangat tidak senang jika
harus menaruh umpan cacing di pancing. Tak tega melihat kesakitan yang menimpa
si cacing. Dengan cekatan kau membantuku. Kita menunggu cukup lama, namun
ikannya belum juga menyangkut di kail kita.
“Sabar, ya begini memancing. Melatih kesabaran.”
Ujarmu kemudian melihat aku sudah mulai bosan. Namun tiba-tiba pancingku
bergerak. Akhirnya aku dapat ikan. Kala itu aku sangat-sangat bahagia. Kau
juga. Sungguh. Memancing rupanya menyenangkan. Ya, inilah dunia kecil kita.
Dunia bagi matahari dan bumi.
Masih di dunia kecil kita. Matahari berada di barat,
lembayung senja sudah mulai tampak. Aku di sini, di antara angin dan rimbunnya hijau
ilalang menanti ikan menyambar umpan yang kupasang. Mencoba mengulang
kegembiraan beberapa tahun silam. Tapi di sini hanya aku. Tidak ada kita. Tidak
matahari, tidak juga bumi.
Dulu dalam dunia kecil kita, seolah-olah aku
mengenalmu lebih dari mengenal diriku. Tapi tidak rupanya aku salah. Salah
besar.
Aku mengkerut dalam belenggu yang kau buat. Dalam
sebuah dimensi dimana kau selalu ingin menjadi matahari dan aku bumi. Kau
selalu matahari dan aku selalu bumi. Maka hari itu aku ingin memiliki sayap
seperti sayap bidadari meninggalkan diri yang selalu sebagai bumi. Aku ingin ke
sebuah dunia. Bukan dunia yang pernah kita buat beberapa waktu silam. Bukan.
Sebuah dunia yang tak mengerti bahasaku.
Kau tahu kenapa? aku tak mau kau apalagi mereka merespon setiap hal yang kulakukan.
Sungguh aku ingin menyendiri. Yah, aku ingin menyendiri.
***
Kuangkat kepalaku, mataku tertuju pada sebuah jembatan
yang kokoh berdiri. Lalu kualihkan pada jembatan berukuran kecil yang di sebelahnya. Itu adalah jembatan
Progo lama. Dua tiang penyangganya hampir ambles akibat arus sungai yang deras.
Pantas saja, jembatan itu adalah jembatan peninggalan Belanda. Sekarang sudah
tidak digunakan lagi. Ada
untungnya juga ambles karena kemudian di bangun jembatan yang baru, yang jauh
lebih besar tentunya.
Di samping itu ketika ramadhan datang, kesanalah
tempat favorit kita. Sehabis subuh kita akan jalan-jalan ke sana . Tidak hanya kita. Ada
banyak anak muda seperti kita yang juga jalan-jalan di sana . Biasanya, ada beberapa anak jail yang
sengaja menyalakan petasan akibatnya kita sering teriak-teriak tidak jelas.
Tapi dari situlah ke asyikan yang
tak bisa di beli dengan apapun.
Kadang kita bermain seluncuran di anak tangga waduk yang
ada di bawah jembatan. Kita menyebutnya dam-daman. Sungguh sangat mengasyikan
tempat itu. Sebuah tempat yang tak terlupakan. Namun siapa sangka di tempat itu
pulalah kau pertama kalinya berucap bahwa aku introvert. Darimana kau dapat
kata-kata itu? Kau sama sekali tak menjawab. Dan malah berbalik bertanya apakah
aku satu-satunya temanmu? Pertanyaan macam apa itu? Harusnya kau mengenal aku?
Sejak saat itu kau jadi sering bilang bahwa aku itu
introvert. Apakah kau sadar perkataanmu itu telah memasuki dimensi otak bawah sadarku.
Lalu secara tidak langsung akupun sering melabelkan kata-kata itu dibenakku.
Aku introvert. Lalu, apa kau mau bertanggung jawab dengan ulahmu. Aku yakin kau
akan lepas tangan dari semua ini.
Dan lagi, suatu ketika di hari yang tak kuduga, kau berucap
bahwa aku sama sekali tak punya empati pada orang lain. Bahkan kau menyuruhku
untuk menumbuhkan empati itu. Lagi-lagi kau memberikan aku lebel yang kubenci
dan tak pernah kulakukan. Sungguh aku masih memiliki rasa empati. Kau saja yang
tak meyadarinya. Kau salah lagi kali ini. Introvert bukan berarti tak punya
empati. Keintrovertan yang kau sematkan padaku mungkin menjelma sebuah
pembuktian empati yang jauh berbeda dengan caramu, dan semua itu seperti telah
ada dalam tubuhku.
Kau mulai selalu ingin menjadi matahari, lantas aku
menjadi bumi, beredar mengitarimu seperti yang kau mau.
***
Benar sekali. Aku akan selalu menyalahkanmu atas
setiap perubahan dalam diriku yang semua itu berasal dari setiap perkataanmu
yang seolah ia adalah sebuah wejangan tapi nyatanya ia adalah pe-lebel-an
negative meskipun itu tak pernah kau sadari sedikitpun.
Namun, entah kenapa aku sama sekali tak ingin
membencimu. Sebaliknya aku ingin mencintaimu seperti aku mencintai adikku.
Sungguh aku ingin melakukannya, sekarang, nanti dan bahkan kelak. Kemudian
ketika aku mencintaimu, biarkanlah aku mencintaimu dengan cara-caraku. Please,
kali ini jangan kau minta aku mencintaimu seperti cara kau mencintai. Aku yakin
ini tak akan berhasil. Untuk masalah ini biarkan aku menjadi diriku, dengan
label yang kusematkan sendiri. Bukan darimu.
***
Aku masih sangat hafal aroma parfummu. Tidak, ini sama
sekali bukan aroma parfummu. Lalu ini aroma parfum milik siapa? Ku dengar
akhir-akhir ini kau sering sekali bertemu dengan Sri. Kalian sering jalan
bersama, dan makan bersama. Apa karena itu, aroma parfummu menjadi seperti
aroma parfum milik Sri. Tapi aku sama sekali belum pernah bertemu dengan Sri,
jadi aku belum bisa membuktikan aroma parfummu seperti aroma parfum Sri. Kenapa
aku menjadi membahas aroma parfummu? Sama sekali tak penting. Hanya saja aku
tak mau kau kali ini menyuruhku mengganti aroma parfumku seperti aroma
parfummu. Tidak. Jelas aku tidak mau. Apakah kamu mau tahu kenapa? Bukan karena
aku tak menyukai aromanya. Itu semua karena aku belum benar-benar bisa
mencintaimu. Sama sekali belum.
***
Di pagi bermendung kau mengirimiku sms. Kau bilang
kalau hari ini kau akan mengajakku jalan-jalan. Dahiku mengeryit. Aku tercekat.
Aku tak percaya, kau mengajakku. Kenapa mesti aku? Kenapa tidak Sri. Apakah kau
sudah bosan dengan Sri? Lalu kau membuangnya begitu saja. Tega sekali kau.
Habis manis sepah dibuang. Apakah kau juga akan memperlakukan itu padaku kelak,
ketika aku benar-benar bisa mencintaimu. Hah, tapi itu mustahil aku
mencintaimu. Sekalipun mustahil tapi jujur aku sangat ingin.
Smsmu belum juga kubalas. Sengaja. Aku ingin kau
benar-benar menunggu balasan dariku. Seperti aku yang selalu menunggu balasan
sms darimu hingga berjam-jam dan bahkan lebih sering tak kau balas. Aku ingin
kau juga merasakan kejengkelan yang sama seperti yang aku rasakan.
Aku jadi teringat beberapa waktu yang lalu ketika aku
lupa tak membalas smsmu. Akhirnya kau sms semua keluargaku agar aku membalas
smsmu. Apa-apaan ini? Sungguh menyebalkan.
Kali ini apakah kau juga akan melakukan hal yang sama
seperti waktu itu. Aku benar-benar tidak mengerti dengan tingkahmu. Kadang kau
seperti candu yang meracuni otakku. Tapi kadang kau seperti madu.
Ku bayangkan saat ini kau sedang manyun menunggu
balasan smsku. Coba aku saat ini ada didekatmu, ekspresi wajahmu pasti lucu.
Haha.
[1] Kali Progo adalah salah
satu sungai yang ada di Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta. Sungai ini memisahkan
antara kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Bantul.
wah hebat sekali penulisan cerpennya...tahniah.
BalasHapusmakasih kak
BalasHapus