Sabtu, 03 Oktober 2015

Berguru pada Kenangan.

Pada suatu hari yang membuat harga diriku berasa tidak bernilai, ura aji, begitu kiranya dalam bahasa jawa, aku mensetting pikiranku agar aku tidak bersikap sentimentil ala anak abg. Dari sana aku belajar tentang arti sebuah nilai. Aku yakin saat itu , Allah sedang mengajariku bagaimana menghargai sebuah nilai. Malas rasanya bercerita tentang peristiwa waktu itu, tapi demi sebuah pelajaran aku merelakan untuk mengutarakannya dalam sebuah cerita. Aku menuliskan cerita penuh pelajaran ini dalam keadaan sadar di antara kicau burung dan lantunan suara ayat – ayat Al quran dari perempuan berkerudung pelangi. Aku sedang berada di masjid Agung Manunggal Bantul.


Sebut namanya Mister T, ia adalah satu – satunya dosbingku. Seminggu yang lalu, pada hari Senin, aku membuat janji dengan Mister T. Beliau berkata bahwa untuk minggu ini jadwl penuh, Mister T menjanjikan hari Rabu depan. Dan ketika hari Selasa aku mengkonfirmasi ulang terkait bimbinganku. Mister T menjanjikan mempunyai waktu jam 4 sore. Aku pun mengatur ulang jadwal agar aku bisa bimbingan dengan Mister T. Tibalah hari Rabu, aku sengaja mengambil sedikit jam untuk masuk kerja partime di sebuah warnet agar aku bisa menyelesaikan laporanku. Aku berencana jam 3 sore berangkat langsung ke kampus. Tak tahunya ketika selesai membuka mukena biru, sehabis shalat dhuhur, waktu itu jam di handphoneku menunjuk angka 13.12, ada sebuah pesan masuk dari seorang teman, sebut saja Iva.

“Mbak, hari ini ada janjian dengan Mister T ya? Sudah ditunggu sekarang oleh Mister T.”

Whaatttt.

Kau tahu apa yang kurasakan. Aku merasa tidak bernilai saat itu. Sungguh. Aku tahu ini adalah perasaan lebay dan alay seorang perempuan yang berumur setengah abad. Aku akui ini adalah asumsi yang harusnya tidak kupupuk hingga membuahkan prasangka buruk. Tapi bagaimana? Saat itu pertama kali yang terpikir adalah seperti itu.

Aku merasa menjadi manusia paling tidak dihargai sedunia, hina dina, remeh – temeh. 

Kenapa Mister T tidak langsung saja mengkonfirmasi kepadaku lewat sms sendiri? Kenapa harus melalui orang lain? Apa  dia tidak punya nomorku? Padahal aku kemarin sms Mister T. Kurasa ia tidak pernah menyimpan nomorku. Ya siapa aku, yang nomornya harus disimpan. Orang tidak penting. Di sinilah aku merasa menjadi orang paling tidak berharga, tidak penting, dan hina. Aku sedang berhadapan dengan orang penting yang bisa seenak dirinya untuk mengubah bahkan membatalkan sesuatu.

Sentimentil bukan.


Sepanjang perjalanan menuju kampus aku merenung. Perjalanan di atas motor memang waktu paling asyik buat melihat ke dalam diri. Aku mulai menyadari bahwa rupanya aku telah salah menempatkan perasaan tidak penting, tidak berharga, hina dina, dan remeh. Harusnya perasaan itu bukan kutujukan pada manusia melainkan hanya kepada Allah. Astagfirullah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar